Peran Mahasiswa Al Azhar di balik De Jure Kemerdekaan Indonesia

Penulis : Falih Vava

Masjid dan Universitas Al Azhar sebagai Kiblat Ilmu Agama dan Moderasi Islam di Dunia Arab

“Secara Fakta, Kemenangan Diplomasi Indonesia Dimulai dari Mesir”

Bung Hatta

Sedang buka file lama, lalu nemu video lawas tahun 2018 yang lalu. Berupa summary diskusi bersama para sahabat, Ilman M. Abdul Haq, Fauzan Mustofa dan Muhammad Nur Thariq. Kami Ngobrol santai bertajuk “Kenduri Kemerdekaan” di markas Kelompok Studi Walisongo (KSW) Kairo Mesir.

Kami memang terbiasa bikin obrolan-obrolan kecil begini setiap bulan Agustus tiba. Sambil menikmati jajanan kampung; ketela godok, kacang-kacangan, kopi dan tentunya kretek. Mencoba merekonstruksi sejarah masa lalu, memahami realitas kehidupan berbangsa saat ini, siapa tahu bisa membayangkan apa yang bakalan terjadi Indonesia di hari esok. Karena sekarang COVID-19 masih melanda, jadi tradisi yang rutin itu terpaksa tak terselenggara seperti biasanya.

Tidak bisa kita pungkiri para tokoh delegasi Indonesia yang melawat ke Mesir pada tahun 1947 sangat berjasa. Namun rasanya tidak adil manakala tidak turut mencatat dan mengingat peran para pemuda Indonesia yang sedang belajar di Universitas Al Azhar, Kairo Mesir. Sumbangsih yang tak kalah penting menjadi jembatan diplomasi antara Tokoh Kemerdekaan Indonesia dengan Al Azhar, Tokoh Mesir, Pemerintahnya serta Dunia Arab. Jauh sebelum terciptanya penandatanganan hubungan bilateral yang dilakukan oleh KH. Agus Salim didampingi Abdurrahman Baswedan dipihak Indonesia, dan Mahmoud Fahmi Nokrasyi (PM) di pihak Mesir. Karenanya dalam satu kesempatan KH. Agus Salim bersama di hadapan para pemuda Indonesia di Kairo di bulan April 1947 menyatakan;

“Kami datang kemari seolah-olah hanya untuk menandatangani dokumen-dokumen yang telah selesei saudara-saudara siapkan”.

KH. Agus Salim

Faktanya memang para pemuda Indonesia di Mesir berpuluh-puluh tahun bergerak dalam senyap (Invisible Movement). Sembari melibatkan diri dalam pertemuan tokoh Dunia Arab, membangun kekuatan dan jejaring politik guna meyakinkan mereka demi terwujudnya kemerdekaan bangsanya. Peran yang tentu saja tidak mudah. Belum lagi musuh dari dalam. Lho, memangnya ada yang tidak menghendaki kemerdekaan?. Ada. Apakah juga ada yang malahan membelot dan berpihak pada penjajah? Banyak. itulah, tantangan tersendiri pergerakan dan pergolakan pemuda kita masa itu.

Pengakuan Bangsa Arab terhadap kemerdekaan Indonesia, bukan ujuk-ujuk atau tiba-tiba datang atas inisiatif dari negara-negara Liga Arab sendiri. Bukan. Melainkan adanya upaya cukup lama dari mahasiswa yang semangatnya diwariskan dari generasi ke generasi. Terencana, persiapan matang, strategi dan pergerakannya. Bahwa memang yang mendasari mereka sebenarnya adalah hubungan kemanusiaan dan hubungan persaudaraan seagama, sama-sama menghendaki kemerdekaan dan sama-sama melawan kaum penjajah yang menginjak-injak harkat dan martabat manusia.

Propaganda Kemerdekaan dengan nama pena Soekarno As-Shaghir (Junior) di Surat kabar Mesir

Adalah Janan Thayyib, Abdul Kahar Mudzakkir, H.M. Rasjidi (Tokoh Muhamadiyah), serta aktivis muda lainnya, merupakan pelopor awal perjuangan kemerdekaan di Mesir. Abdul Kahar Mudzakir, satu tokoh yang secara efektif mengggalang kekuatan dan dukungan. Pun mampu melakukan regenerasi untuk melanjutkan estafet perjuangan. Sebelum akhirnya pulang ke Indonesia dan turut merumuskan Pancasila bersama KH. Wahid Hasyim, putra Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari beserta tokoh-tokoh lainnya.

Mula-mula serangkaian pergerakan para pemuda relatif terstruktur baru pada era 1920-1930an. Rentan waktu ini, pergerakan belum secara massif dan terbuka karena masih berada dibawah perwalian Belanda dan juga sangat diawasi Inggris. Barulah pertengahan 1930-an hingga jelang proklamasi 1945 pergerakan senyap ‘tanpa nama’ yang dimotori sedikitnya Enam orang; Ismail Banda, Ahmad Hasyim Amak, Abdul Jalil Hasan, Muhammad Dawam dan Zein Hassan. Sedangkan, pemuda Indonesia lainnya berada dibaliknya mendukung penuh apapun yang dilakukan Keenam orang tersebut.

Pemuda Indonesia di Kairo bukan sendirian bergerak. Mereka mendapat dukungan langsung dari para tokoh penting pergerakan di Indonesia. Seperti; Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Jend. Soedirman, Dr. Soetomo, Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Ahmad Dahlan dan tokoh lainnya mendukung dan mengarahkan mereka dari jauh, utamanya Bung Hatta yang secara apik mengatur sejak lama pergerakan di luar negeri sejak masih di Belanda yang berkolaborasi dengan mahasiswa-mahasiswa di Al Azhar dan negara lainnya. Oleh karena itu, langkah para pemuda tak cukup sulit. Selain legitimasi para ulama seperti Hadratussyeikh Hasyim Asy’ari cukup kuat pengaruhnya. Pendiri NU tersebut telah berjejaring dan berkomunikasi secara intens dengan ulama-ulama Timur Tengah dan Al-Azhar Mesir jauh sebelum itu.

Berkat kepiawaian diplomasi para mahasiswa di Kairo, mereka juga didukung penuh oleh para tokoh Dunia Arab, antara lain; Mayjend. Tahsin Elaskari (Irak), sebagai fasilitator pengantar surat-surat rahasia, Abdurrahman Azzam Pasya (Mesir) sebagai King-Maker, Mohamed Salahuddin Bey (Mesir) sebagai penasehat hukum internasional, Mayjend. Saleh Harb Pasha (Mesir) mantan Menhan menjadi pelindung pertahanan dan keamanan. Serta Saad Zagloul dan Mostafa Nahas Pasha, tokoh partai el-Wafd itu sebagai penasehat urusan luar negeri. Tak ketinggalan Muhammad Ali Thohir (Palestina) pengatur propaganda Media sekaligus suksesor pada pemuda.

Grand Syekh Al Azhar Imam Abdul Majid Salim

Dan yang tak kalah penting ada peran ulama-ulama Al-Azhar, utamanya Fadhilat Al-Imam Al-Akbar Syeikh Abdul Majid Salim (Grand Syeikh Al-Azhar sekaligus mantan Mufti Mesir), merupakan tokoh sentral rujukan mahasiswa Indonesia untuk mendapatkan nasehat dan fatwa-fatwanya terkait perlawanan terhadap penjajahan. Bahkan ada satu fatwa Syeikh Salim di tahun 1946 terkait perjuangan bangsa Indonesia. Beliau menyatakan secara jelas dan gamblang. Bahwa siapapun yang berafiliasi dan mendukung kaum penjajah dan berlawanan dengan perjuangan bangsanya sendiri, maka dianggap keluar dari agama Islam.

Masih banyak tokoh-tokoh lainnya dalam proses keberhasilan diplomasi di luar negeri. Bukan saja itu, Ali Ahmad Bakatir, sastrawan terkemuka WN Indonesia kelahiran Surabaya keturunan Yaman tersebut ─yang kelak jadi WN Mesir─ turut melakukan propaganda lewat jalur Budaya dari opera ke opera di Dunia Arab.

Itulah alasan kenapa Bung Hatta sekembalinya dari Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Hag, Belanda pada tahun 1949, secara khusus menyempatkan mampir ke Mesir dan mengadakan resepsi, guna mengucapkan terima kasih kepada para pembesar Mesir dan arab, juga kepada pemuda Indonesia di Al-Azhar, Mesir. Hingga kemudian mengatakan;

“Secara Fakta, Kemenangan Diplomasi Indonesia Dimulai dari Mesir”

Bung Hatta

Nah, tentang perlawanan kristenisasi Belanda. Bukan semata-mata mengumbar permusuhan terhadap agama lain atau memunculkan konflik sektarian. Melainkan Kristenisasi Belanda kala itu membawa corak yang kental budaya Eropa. Tak cuma NU sebenarnya yang melawan, bahkan pengaruh Belanda tersebut juga ditentang oleh Komunitas Kristen Indonesia sendiri. Misalnya, komunitas Kristen Kang Mardika termasuk di antara yang getol meredusir pengaruh tersebut. Sebab, kristenisasi Belanda bagian dari upaya pencerabutan kebudayaan untuk kemudian masuk kepada kebudayaan baru berbau Eropa serta melanggengkan penjajahan.

Tulisan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari tentang kezaliman dan Kristenisasi Belanda atas Indonesia di salah satu Koran Timur Tengah – Doc. Falih Fafa

Itu semua hanyalah sekelumit sejarah Indonesia. Bagaimana peran mahasiswa Al Azhar, Mesir yang meskipun berada sangat jauh dari negara tercinta. Namun turut serta bersumbangsih berjuang mati-matian demi kemerdekaan Indonesia. Semangat kebangsaan pun tak pernah padam, sejak dulu hingga sekarang ini. Biarpun dalam perjuangannya tanpa punya uang, sampai harus ngutang kesana-kemari pada orang Arab, musti nyamar-nyamar (in cognito), diburu oleh entitas penjajah di Timur Tengah dan lain sebagainya. Proses perjuangan yang tak pernah mudah dan jauh dari kata mudah.

Jadi, misalnya ada alumni Al Azhar Mesir, Pulang ke Indonesia lalu bertentangan dengan prinsip-prinsip NKRI. Apalagi berupaya mengganti asas bernegara. Terlebih menciptakan instabilitas negara dan bukannya memberikan solusi serta inovasi di Masyarakat. Bagi saya kok aneh. Apa mereka lupa penjuangan diplomasi pendahulunya di Al Azhar?

Dirgahayu Indonesiaku.

Makmur dan Sejahteralah selalu !.

Falih Vava

Santri Al Azhar dan Peneliti Perkembangan Timteng dan Afrika. Penikmat bait lagu-lau Umu Kultsum ini pernah menjafi Pemimpin MPA di Klub Studi Walisongo -KSW- dan PPMI Mesir. Dan sekarang fokus sebagai analis Perusahaan Swasta dan Pengawas Griya Jawa Tengah kairo. Penulis bisa disapa lewat akun Facebook.

Leave a Reply

Tinggalkan komentar